Nizar Ali: Ramadan Momen Seimbangkan Kesalehan Personal dan Sosial
By Admin
nusakini.com--Ramadan sudah melewati hari ke-12. Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Nizar Ali mengajak jajaran Ditjen Pendidikan Islam untuk memanfaatkan moment Ramadan sebagai sarana menyeimbangkan kesalehan personal dan sosial.
Ajakan ini disampaikan Nizar saat memberi Kuliah Ramadan di Musholla At-Tarbiyah Ditjen Pendidikan Islam lantai VII, Jakarta, Rabu (07/06).
Menyitir pendapat Umar Bin Khahttab, Nizar menyampaikan, tidaklah dapat mengukur keimanan dan keislaman seseorang, hanya karena dia telah menjalankan sholat, puasa dan haji. Akan tetapi keimanan dan keislaman seseorang terlihat pada perilaku dan moralitasnya.
"Sahabat Umar Bin Khatthab dikenal sebagai pribadi yang tidak hanya saleh secara individual, tapi juga menonjol dalam kesalehan sosial. Banyak ayat dan hadits Nabi yang berbicara pentingnya menyeimbangkan antara keduanya," kata Nizar Ali.
Sebagai contoh, Nizar Ali menguraikan makna Q.S. Al-Baqarah 177: "Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."
Bertolak dari ayat tersebut, lanjut Nizar, ada lima dimensi untuk menilai apakah seorang muslim itu sebagai penganut agama yang baik atau tidak, yaitu: keimanan, kepedulian sosial, ibadah, relasi sosial, dan dimensi spiritualitas.
"Keimanan adalah dimensi yang utama dan modal penting sebagai pondasi dari dimensi-dimensi yang lain. Modal utama seorang muslim adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi," ujarnya.
Dimensi kedua, lanjut Nizar Ali, adalah kepedulian sosial, yaitu memberikan sebagian hartanya untuk para kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya.
Ibnu Sabil atau orang orang yang sedang dalam perjalanan bisa dimaknai para pelajar yang sedang belajar di negeri orang. Mereja juga tidak kalah utama untuk diperhatikan," terangnya.
Ibadah yang sifatnya tanggungjawab individu ditempatkan nomor tiga yaitu menjalankan shalat dan zakat. Zakatpun hakikatnya sebagai cermin dari ibadah sosial kepada Tuhan.
Dimensi relasi sosial di ayat itu secara literal dijelaskan sebagai komitmen menepati janji apabila ia berjanji. Menjalin keharmonisan dalam berteman termasuk dalam hubungan kerja adalah cermin muslim yang baik, tuturnya.
"Terakhir adalah dimensi spiritualitas yang digambarkan dengan kesabaran dalam kesulitan," sambungnya.
Nizar Ali menilai, keseimbangan kesalehan individual dan sosial penting agar seseorang tidak mudah merasa paling benar (truth claim) dan mudah menyalahkan yang lain. Kita tidak boleh memvonis orang dari satu dimensi saja tetapi harus dilihat dalam lima dimensi tersebut secara komprehenshif, katanya.
Selama Bulan Ramadan Musholla At-Tarbiyah Ditjen Pendidikan Islam Lantai VII menggelar Kuliah Ramadan dilanjutkan dengan tadarus Al-Quran yang diikuti oleh ASN Ditjen Pendis dan unit Eselon I lainnya. (p/ab)